SEMUT DAN MERPATI
Pada suatu hari, seekor semut yang sedang berjalan-jalan mencari makan di pinggir sungai. Seperti biasa dia berjalan dengan riang dan karena kurang hati-hati tiba-tiba ia terjatuh ke dalam sungai.
Pada suatu hari, seekor semut yang sedang berjalan-jalan mencari makan di pinggir sungai. Seperti biasa dia berjalan dengan riang dan karena kurang hati-hati tiba-tiba ia terjatuh ke dalam sungai.
Arus sungai menghanyutkannya, semut itu timbul tenggelam dan
kelelahan berusaha untuk menepi tapi tidak berhasil. Seekor burung
merpati yang kebetulan bertengger di ranting pohon yang melintang di
atas sungai melihat semut yang hampir tenggelam dan merasa iba.
Burung merpati ini memetik daun dan menjatuhkannya didekat semut.
Semut merayap naik ke atas daun dan akhirnya berhasil menyelamatkan
dirinya dengan bantuan daun tersebut, mendarat di tepi sungai.
Tidak lama kemudian, sang semut melihat seorang pemburu burung sedang
mengendap-endap berusaha mendekati burung merpati yang telah
menolongnya tadi. Semut menyadari bahaya yang membayangi merpati yang
baik tersebut, segera berlari mendekati pemburu, dan menggigit kaki sang
pemburu.
Pemburu itu kesakitan dan terkejut, mengibaskan ranting yang tadinya
akan digunakan untuk menangkap burung. Burung Merpati menyadari
keberadaan pemburu yang sibuk mengibas-ngibaskan ranting kesakitan.
Akhirnya sang burung pun terbang menyelamatkan dirinya.
SEMUT DAN KEPOMPONG
Seekor semut merayap dengan gesit di bawah sinar matahari. Memanjat pohon, dan menelusuri ranting dengan lincah. Dia sedang mencari makanan saat tiba-tiba dia melihat kepompong tergantung di selembar daun. Kepompong itu terlihat mulai bergerak-gerak sedikit, tanda apa yang ada di dalamnya akan segera keluar.
Gerakan-gerakan dari kepompong tersebut menarik perhatian semut yang baru pertama kali ini melihat kepompong yang bisa bergerak-gerak. Dia mendekat dan berkata,”Aduh kasian sekali kamu ini” kata semut itu dengan nada antara kasihan dan menghina.
“Nasibmu malang sekali, sementara aku bisa lari kesana kemari sekehendak hatiku, dan kalau aku ingin aku bisa memanjat pohon yang tertinggi sekalipun, kamu terperangkap dalam kulitmu, hanya bisa menggerakkan sedikit saja tubuhmu.”
Kepompong mendengar semua yang dikatakan oleh semut, tapi dia diam saja tidak menjawab.
Beberapa hari kemudian, saat semut kembali ketempat kepompong tersebut, dia terkejut saat melihat yang kepompong itu sudah kosong yang ada tinggal cangkangnya.
Saat dia sedang bertanya-tanya dalam hati apa yang terjadi dengan isi dari kepompong itu, tiba-tiba dia merasakan hembusan angin dan adanya kepakan sayap kupu-kupu yang indah di belakangnya.
“Wahai semut, lihatlah diriku sekarang baik-baik” kupu-kupu yang indah menyapa semut yang tertegun melihatnya.
“Akulah mahluk yang kau kasihani beberapa hari lalu ! Saat itu aku masih ada di dalam kepompong. Sekarang kau boleh sesumbar bahwa kau bisa berlari cepat dan memanjat tinggi. Tapi mungkin aku tidak akan perduli, karena aku akan terbang tinggi dan tidak mendengar apa yang kau katakan.”
Sambil berkata demikian, kupu-kupu itu terbang tinggi ke udara, meniti hembusan angin, dan dalam sekejap hilang dari pandangan sang semut.
BURUNG ELANG YANG MALANG
Alkisah pada suatu hari seorang peternak menemukan telur burung elang. Dia meletakkan telur burung elang tersebut dalam kandang ayamnya. Telur itu dierami oleh seekor induk ayam yang ada dikandang. Kemudian pada akhirnya telur elang tersebut menetas, bersamaan dengan telur-telur ayam lain yang dierami oleh induk ayam.
Alkisah pada suatu hari seorang peternak menemukan telur burung elang. Dia meletakkan telur burung elang tersebut dalam kandang ayamnya. Telur itu dierami oleh seekor induk ayam yang ada dikandang. Kemudian pada akhirnya telur elang tersebut menetas, bersamaan dengan telur-telur ayam lain yang dierami oleh induk ayam.
Elang kecil tumbuh bersama dengan
anak-anak ayam yang menetas bersamaan dengannya. Dia mengikuti apa yang
dikerjakan oleh anak-anak ayam tersebut, sambil mengira bahwa dia juga
adalah seekor ayam. Dia ikut mencakar-cakar tanah untuk mencari cacing
dan serangga. Dia menirukan suara ayam, berkotek-kotek dan bermain
bersama-sama anak ayam. Kadang dia mencoba mengepakkan sayapnya tapi
sekedar untuk meloncat tidak berapa jauh, seperti yang biasa dilakukan
oleh anak-anak ayam yang lain. Hari-hari berlalu, tahun berganti sampai
akhirnya elang ini cukup tua.
Pada suatu hari dia melihat burung
terbang tinggi di atas langit. Burung itu terbang melayang dengan megah
menantang angin yang bertiup kencang, tanpa mengepakkan sayap. Burung
elang tersebut bertanya pada temannya, seekor ayam. “Siapakah itu yang
terbang tinggi ?”
Temannya menjawab, dia adalah sang
burung Elang, raja dari segala burung. Dia adalah mahluk angkasa yang
bebas terbang menembus awan, kita adalah mahluk biasa yang tempatnya
memang mencari makan di bumi, kita hanyalah ayam. Akhirnya elang ini
melanjutkan hidupnya sebagai ayam, sampai akhir hayatnya. Dia tidak
pernah menyadari siapa sejatinya dirinya, selain seekor ayam, karena
itulah yang dia ketahui dan percaya sejak kecil.
NABI SULAIMAN DAN SEMUT
Sulaiman bin Daud adalah satu-satunya Nabi yang memperoleh keistimewaan dari Allah SWT sehingga bisa memahami bahasa binatang. Dia bisa bicara dengan burung Hud Hud dan juga boleh memahami bahasa semut. Dalam Al-Quran surah An Naml, ayat 18-26 adalah contoh dari sebahagian ayat yang menceritakan akan keistimewaan Nabi yang sangat kaya raya ini. Firman Allah, Dan Sulaiman telah mewarisi Daud dan dia berkata, hai manusia, kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya [semua] ini benar-benar suatu karunia yang nyata.
Sulaiman bin Daud adalah satu-satunya Nabi yang memperoleh keistimewaan dari Allah SWT sehingga bisa memahami bahasa binatang. Dia bisa bicara dengan burung Hud Hud dan juga boleh memahami bahasa semut. Dalam Al-Quran surah An Naml, ayat 18-26 adalah contoh dari sebahagian ayat yang menceritakan akan keistimewaan Nabi yang sangat kaya raya ini. Firman Allah, Dan Sulaiman telah mewarisi Daud dan dia berkata, hai manusia, kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya [semua] ini benar-benar suatu karunia yang nyata.
Dan dihimpunkan untuk Sulaiman
tentaranya dari jin, manusia dan burung, lalu mereka itu diatur dengan
tertib [dalam barisan] sehingga apabila mereka sampai di lembah semut
berkatalah seekor semut, hai semut-semut, masuklah ke dalam
sarang-sarangmu agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya,
sedangkan mereka tidak menyadari.
Maka Nabi Sulaiman tersenyum dengan
tertawa kerana mendengar perkataan semut itu. Katanya, Ya Rabbi,
limpahkan kepadaku karunia untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau
anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku; karuniakan padaku
hingga boleh mengerjakan amal soleh yang Engkau ridhai; dan masukkan aku
dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hambaMu yang soleh.
[An-Naml: 16-19]
Menurut sejumlah riwayat, pernah suatu
hari Nabi Sulaiman as bertanya kepada seekor semut, Wahai semut! Berapa
banyak engkau perolehi rezeki dari Allah dalam waktu satu tahun?
Sebesar biji gandum, jawabnya.
Kemudian, Nabi Sulaiman memberi semut
sebiji gandum lalu memeliharanya dalam sebuah botol. Setelah genap satu
tahun, Sulaiman membuka botol untuk melihat nasib si semut. Namun,
didapatinya si semut hanya memakan sebahagian biji gandum itu. Mengapa
engkau hanya memakan sebahagian dan tidak menghabiskannya? tanya Nabi
Sulaiman. Dahulu aku bertawakal dan pasrah diri kepada Allah, jawab si
semut. Dengan tawakal kepada-Nya aku yakin bahawa Dia tidak akan
melupakanku. Ketika aku berpasrah kepadamu, aku tidak yakin apakah
engkau akan ingat kepadaku pada tahun berikutnya sehingga boleh
memperoleh sebiji gandum lagi atau engkau akan lupa kepadaku. Kerana
itu, aku harus tinggalkan sebahagian sebagai bekal tahun berikutnya.
Nabi Sulaiman, walaupun ia sangat kaya
raya, namun kekayaannya adalah nisbi dan terbatas. Yang Maha Kaya secara
mutlak hanyalah Allah SWT semata-mata. Nabi Sulaiman, meskipun sangat
baik dan kasih, namun yang Maha Baik dan Maha Kasih dari seluruh
pengasih hanyalah Allah SWT semata. Dalam diri Nabi Sulaiman tersimpan
sifat terbatas dan kenisbian yang tidak dapat dipisahkan; sementara
dalam Zat Allah sifat mutlak dan absolut.
Bagaimanapun kayanya Nabi Sulaiman, dia
tetap manusia biasa yang tidak boleh sepenuhnya dijadikan tempat
bergantung. Bagaimana kasihnya Nabi Sulaiman, dia adalah manusia biasa
yang menyimpan kedaifan-kedaifannya tersendiri. Hal itu diketahui oleh
semut Nabi Sulaiman. Kerana itu, dia masih tidak percaya kepada janji
Nabi Sulaiman ke atasnya. Bukan kerana khuatir Nabi Sulaiman akan ingkar
janji, namun khuatir Nabi Sulaiman tidak mampu memenuhinya lantaran
sifat manusiawinya. Tawakal atau berpasrah diri bulat-bulat hanyalah
kepada Allah SWT semata, bukan kepada manusia.
KISAH POHON APEL
Suatu masa dahulu, terdapat sebatang pohon apel yang amat besar. Seorang kanak-kanak lelaki begitu gemar bermain-main di sekitar pohon apel ini setiap hari. Dia memanjat pohon tersebut, memetik serta memakan apel sepuas-puas hatinya, dan adakalanya dia beristirahat lalu terlelap di perdu pohon apel tersebut. Anak lelaki tersebut begitu menyayangi tempat permainannya. Pohon apel itu juga menyukai anak tersebut.
Suatu masa dahulu, terdapat sebatang pohon apel yang amat besar. Seorang kanak-kanak lelaki begitu gemar bermain-main di sekitar pohon apel ini setiap hari. Dia memanjat pohon tersebut, memetik serta memakan apel sepuas-puas hatinya, dan adakalanya dia beristirahat lalu terlelap di perdu pohon apel tersebut. Anak lelaki tersebut begitu menyayangi tempat permainannya. Pohon apel itu juga menyukai anak tersebut.
Masa berlalu, anak lelaki itu sudah
besar dan menjadi seorang remaja. Dia tidak lagi menghabiskan masanya
setiap hari bermain di sekitar pohon apel tersebut. Namun begitu, suatu
hari dia datang kepada pohon apel tersebut dengan wajah yang sedih.
“Marilah bermain-mainlah di sekitarku,” ajak pohon apel itu. “Aku bukan
lagi kanak-kanak, aku tidak lagi gemar bermain dengan engkau.” jawab
remaja itu. “Aku mahukan permainan. Aku perlukan uang untuk membelinya.”
tambah remaja itu dengan nada yang sedih. Lalu pohon apel itu berkata,
“Kalau begitu, petiklah apel-apel yang ada padaku. Juallah untuk
mendapatkan uang. Dengan itu, kau dapat membeli permainan yang kau
inginkan.”
Remaja itu dengan gembiranya memetik
semua apel dipohon itu dan pergi dari situ. Dia tidak kembali lagi
selepas itu. Pohon apel itu merasa sedih. Masa berlalu, suatu hari,
remaja itu kembali. Dia semakin dewasa.
Pohon apel itu merasa gembira.”Marilah
bermain-mainlah di sekitarku,” ajak pohon apel itu. “Aku tiada waktu
untuk bermain. Aku terpaksa bekerja untuk mendapatkan uang. Aku ingin
membina rumah sebagai tempat perlindungan untuk keluargaku. Bolehkah kau
menolongku?” Tanya anak itu.
Maafkan aku. Aku tidak mempunyai rumah.
Tetapi kau boleh memotong dahan-dahanku yang besar ini dan kau buatlah
rumah daripadanya.” Pohon apel itu memberikan cadangan. Lalu, remaja
yang semakin dewasa itu memotong kesemua dahan pohon apel itu dan pergi
dengan gembiranya. Pohon apel itu pun turut gembira tetapi kemudiannya
merasa sedih karena remaja itu tidak kembali lagi setelah itu.
Suatu hari yang panas seorang lelaki
datang menemui pohon apel itu. Dia sebenarnya adalah anak lelaki yang
pernah bermain-main dengan pohon apel itu. Dia telah matang dan dewasa.”
Marilah bermain-mainlah di sekitarku, “ajak pohon apel itu.” Maafkan
aku, tetapi aku bukan lagi anak lelaki yang suka bermain-main di
sekitarmu. Aku sudah dewasa. Aku mempunyai cita-cita untuk belayar.
Malangnya, aku tidak mempunyai boat. Bolehkah kau menolongku?” tanya
lelaki itu.
“Aku tidak mempunyai boat untuk
diberikan kepada kau. Tetapi kau boleh memotong batang pohon ini untuk
dijadikan boat. Kau akan dapat belayar dengan gembira,” kata pohon apel
itu. Lelaki itu merasa amat gembira dan menebang batang pohon apel itu.
Dia kemudiannya pergi dari situ dengan gembiranya dan tidak kembali lagi
selepas itu. Namun begitu, pada suatu hari, seorang lelaki yang
semakin dimamah usia, datang menuju pohon apel itu. Dia adalah anak
lelaki yang pernah bermain di sekitar pohon apel itu.
“Maafkan aku. Aku tidak ada apa-apa lagi
untuk diberikan kepada kau. Aku sudah memberikan buahku untuk kau jual,
dahanku untuk kau buat rumah, batangku untuk kau buat boat. Aku hanya
ada tunggul dengan akar yang hampir mati…” kata pohon apel itu dengan
nada pilu.
“Aku tidak mau apelmu kerana aku sudah
tiada bergigi untuk memakannya, aku tidak mau dahanmu kerana aku sudah
tua untuk memotongnya, aku tidak mahu batang pohonmu kerana aku berupaya
untuk belayar lagi, aku merasa lelah dan ingin istirahat,” jawab lelaki
tua itu.
“Jika begitu, istirahatlah di
perduku,””kata pohon apel itu.Lalu lelaki tua itu duduk beristirahat di
perdu pohon apel itu dan beristirahat. Mereka berdua menangis
kegembiraan.
Tersebut. Sebenarnya, pohon apel yang
dimaksudkan di dalam cerita itu adalah kedua-dua ibu bapak kita. Bila
kita masih muda, kita suka bermain dengan mereka. Ketika kita meningkat
remaja, kita perlukan bantuan mereka untuk meneruskan hidup. Kita
tinggalkan mereka dan hanya kembali meminta pertolongan apabila kita
didalam kesusahan. Namun begitu, mereka tetap menolong kita dan
melakukan apa saja asalkan kita bahagia dan gembira dalam hidup. Anda
mungkin terfikir bahwa anak lelaki itu bersikap kejam terhadap pohon
apel itu. Tetapi fikirkanlah, itu hakikatnya bagaimana kebanyakan
anak-anak masa kini melayan ibu bapak mereka. Hargailah jasa ibu bapak
kepada kita. Jangan hanya kita menghargai mereka semasa menyambut hari
ibu dan hari bapak setiap tahun.
SANG SUFI
Tersebutlah seorang penganut tasawuf bernama Nidzam al-Mahmudi. Ia tinggal di sebuah kampung terpencil, dalam sebuah gubuk kecil. Istri dan anak-anaknya hidup dengan amat sederhana. Akan tetapi, semua anaknya berpikiran cerdas dan berpendidikan. Selain penduduk kampung itu, tidak ada yang tahu bahwa ia mempunyai kebun subur berhektar-hektar dan perniagaan yang kian berkembang di beberapa kota besar. Dengan kekayaan yang diputar secara mahir itu ia dapat menghidupi ratusan keluarga yg bergantung padanya. Tingkat kemakmuran para kuli dan pegawainya bahkan jauh lebih tinggi ketimbang sang majikan. Namun, Nidzam al-Mahmudi merasa amat bahagia dan damai menikmati perjalanan usianya.
Tersebutlah seorang penganut tasawuf bernama Nidzam al-Mahmudi. Ia tinggal di sebuah kampung terpencil, dalam sebuah gubuk kecil. Istri dan anak-anaknya hidup dengan amat sederhana. Akan tetapi, semua anaknya berpikiran cerdas dan berpendidikan. Selain penduduk kampung itu, tidak ada yang tahu bahwa ia mempunyai kebun subur berhektar-hektar dan perniagaan yang kian berkembang di beberapa kota besar. Dengan kekayaan yang diputar secara mahir itu ia dapat menghidupi ratusan keluarga yg bergantung padanya. Tingkat kemakmuran para kuli dan pegawainya bahkan jauh lebih tinggi ketimbang sang majikan. Namun, Nidzam al-Mahmudi merasa amat bahagia dan damai menikmati perjalanan usianya.
Salah seorang anaknya pernah bertanya,
“Mengapa Ayah tidak membangun rumah yang besar dan indah? Bukankah Ayah
mampu?” Lalu jawab sang sufi yang tidak terkenal itu,”Ada beberapa sebab
mengapa Ayah lebih suka menempati sebuah gubuk kecil. Pertama, karena
betapa pun besarnya rumah kita, yang kita butuhkan ternyata hanya tempat
untuk duduk dan berbaring. Rumah besar sering menjadi penjara bagi
penghuninya. Sehari-harian ia Cuma mengurung diri sambil menikmati
keindahan istananya. Ia terlepas dari masyarakatnya. Dan ia terlepas
dari alam bebas yang indah ini. Akibatnya ia akan kurang bersyukur
kepada Allah.”
Anaknya yang sudah cukup dewasa itu
membenarkan ucapan ayahnya dalam hati. Apalagi ketika sang Ayah
melanjutkan argumentasinya, “Kedua, dengan menempati sebuah gubuk kecil,
kalian akan menjadi cepat dewasa. Kalian ingin segera memisahkan diri
dari orang tua supaya dapat menghuni rumah yang lebih selesa. Ketiga,
kami dulu cuma berdua, Ayah dan Ibu. Kelak akan menjadi berdua lagi
setelah anak-anak semuanya berumah tangga. Apalagi Ayah dan Ibu
menempati rumah yang besar, bukankah kelengangan suasana akan lebih
terasa dan menyiksa?”
Si anak tercenung. Alangkah bijaknya
sikap sang ayah yang tampak lugu dan polos itu. Ia seorang hartawan yang
kekayaannya melimpah. Akan tetapi, keringatnya setiap hari selalu
bercucuran. Ia ikut mencangkul dan menuai hasil tanaman. Ia betul-betul
menikmati kekayaannya dengan cara yang paling mendasar. Ia tidak
melayang-layang dalam buaian harta benda sehingga sebenarnya bukan
merasakan kekayaan, melainkan kepayahan semata-mata. Sebab banyak
hartawan lain yang hanya bisa menghitung-hitung kekayaannya dalam bentuk
angka-angka. Mereka hanya menikmati lembaran-lembaran kertas yang
disangkanya kekayaan yang tiada tara. Padahal hakikatnya ia tidak
menikmati apa-apa kecuali angan-angan kosongnya sendiri.
Kemudian anak itu lebih terkesima
tatkala ayahnya meneruskan, “Anakku, jika aku membangun sebuah istana
anggun, biayanya terlalu besar. Dan biaya sebesar itu kalau kubangunkan
gubuk-gubuk kecil yang memadai untuk tempat tinggal, berapa banyak
tunawisma atau gelandangan bisa terangkat martabatnya menjadi warga
terhormat? Ingatlah anakku, dunia ini disediakan Tuhan untuk segenap
mahkluknya. Dan dunia ini cukup untuk memenuhi kebutuhan semua
penghuninya. Akan tetapi, dunia ini akan menjadi sempit dan terlalu
sedikit, bahkan tidak cukup, untuk memuaskan hanya keserakahan seorang
manusia saja.”
MEMBUKA PINTU SURGA
Tidak seperti biasanya, hari itu Ali bin Abi Thalib pulang lebih sore menjelang asar. Fatimah binti Rasulullah menyabut kedatangan suaminya yang sehari suntuk mencari rezeki dengan suka cita. Siapa tahu Ali membawa uang lebih banyak karena kebutuhan di rumah makin besar.
Tidak seperti biasanya, hari itu Ali bin Abi Thalib pulang lebih sore menjelang asar. Fatimah binti Rasulullah menyabut kedatangan suaminya yang sehari suntuk mencari rezeki dengan suka cita. Siapa tahu Ali membawa uang lebih banyak karena kebutuhan di rumah makin besar.
Sesudah melepas lelah, Ali berkata
kepada Fatimah,”Maaf sayangku, kali ini aku tidak membawa uang
sepeserpun.”Fatimah menyahut sambil tersenyum,”Memang yang mengatur
rezeki tidak duduk di pasar, bukan? Yang memiliki kuasa itu adalah Allah
Ta’ala.”
“Terima kasih,” jawab Ali.
Matanya memberat lantaran istrinya
begitu tawakal. Padahal persediaan dapur sudah ludes sama sekali. Toh
Fatimah tidak menunjukan sikap kecewa atau sedih. Ali lalu berangkat ke
masjid untuk menjalankan salat berjama’ah.
Sepulang dari sembahyang, di jalan ia dihentikan oleh seorang tua,”Maaf anak muda, betulkah engkau Ali anaknya Abu Thalib?”
Áli menjawab heran,”Ya betul. Ada apa, Tuan?”
Orang tua itu merogoh kantungnya seraya
menjawab,”Dahulu ayahmu pernah kusuruh menyamak kulit. Aku belum sempat
membayar ongkosnya, ayahmu sudah meninggal. Jadi terimalah uang ini,
sebab engkaulah ahli warisnya.” Dengan gembira Ali mengambil haknya dari
orang itu sebanyak 30 dinar. Tentu saja Fatimah sangat gembira
memperoleh rezeki yang tidak di sangka-sangka ketika Ali menceritakan
kejadian itu. Dan ia menyuruh membelanjakannya semua agar tidak
pusing-pusing lagi merisaukan keperluan sehari-hari. Ali pun bergegas
berangkat ke pasar.
Sebelum masuk ke dalam pasar, ia melihat
seorang fakir menadahkan tangan, “Siapakah yang mau menghutangkan
hartanya untuk Allah, bersedekahlah kepada saya, seorang musafir yang
kehabisan bekal di perjalanan.”
Tanpa pikir panjang lebar Ali memberikan
seluruh uangnya kepada orang itu. Pada waktu ia pulang dan Fatimah
keheranan melihat suaminya tidak membawa apa-apa, Ali menerangkan
peristiwa yang baru saja dialaminya. Fatimah, masih dalam senyum,
berkata, “Keputusan kanda adalah yang juga akan saya lakukan seandainya
saya yang mengalaminya. Lebih baik kita menghutangkan harta kepada Allah
daripada bersifat bakhil yang di murkai-Nya, dan menutup pintu surga
buat kita.”
KISAH QARUN
Qarun adalah kaum Nabi Musa, berkebangsaan Israel, dan bukan berasal dari suku Qibthi [Gypsy, bangsa Mesir]. Allah mengutus Musa kepadanya seperti diutusnya Musa kepada Fir’aun dan Haman. Allah telah mengaruniai Qarun harta yang sangat banyak dan perbendaharaan yang melimpah ruah yang banyak memenuhi lemari simpanan. Perbendaharaan harta dan lemari-lemari ini sangat berat untuk diangkat karena beratnya isi kekayaan Qarun. Walaupun diangkat oleh beberapa orang lelaki kuat dan kekar pun, mereka masih kewalahan.
Qarun adalah kaum Nabi Musa, berkebangsaan Israel, dan bukan berasal dari suku Qibthi [Gypsy, bangsa Mesir]. Allah mengutus Musa kepadanya seperti diutusnya Musa kepada Fir’aun dan Haman. Allah telah mengaruniai Qarun harta yang sangat banyak dan perbendaharaan yang melimpah ruah yang banyak memenuhi lemari simpanan. Perbendaharaan harta dan lemari-lemari ini sangat berat untuk diangkat karena beratnya isi kekayaan Qarun. Walaupun diangkat oleh beberapa orang lelaki kuat dan kekar pun, mereka masih kewalahan.
Qarun mempergunakan harta ini dalam
kesesatan, kezaliman dan permusuhan serta membuatnya sombong. Hal ini
merupakan musibah dan bencana bagi kaum kafir dan lemah di kalangan Bani
Israil. Dalam memandang Qarun dan harta kekayaannya, Bani Israil
terbagi atas dua kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok orang yang
beriman kepada Allah dan lebih mengutamakan apa yang ada di sisi-Nya.
Karena itu mereka tidak terpedaya oleh harta Qarun dan tidak
berangan-angan ingin memilikinya. Bahkan mereka memprotes kesombongan,
kesesatan dan kerusakannya serta berharap agar ia menafkahkan hartanya
di jalan Allah dan memberikan kontribusi kepada hamba-hamba Allah yang
lain. Adapun kelompok kedua adalah yang terpukau dan tertipu oleh harta
Qarun karena mereka telah kehilangan tolok ukur nilai, landasan dan
fondasi yang dapat digunakan untuk menilai Qarun dan hartanya. Mereka
menganggap bahwa kekayaan Qarun merupakan bukti keridhaan dan kecintaan
Allah kepadanya. Maka mereka berangan-angan ingin bernasib seperti itu.
Qarun mabuk dan terlena oleh melimpahnya
darta dan kekayaan. Semua itu membuatnya buta dari kebenaran dan tuli
dari nasihat-nasihat orang mukmin. Ketika mereka meminta Qarun untuk
bersyukur kepada Allah atas sedala nikmat harta kekayaan dan memintanya
untuk memanfaatkan hartanya dalam hal yang bermanfaat, kebaikan dan hal
yang halal karena semua itu adalah harta Allah, ia justru menolak seraya
mengatakan “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu karena ilmu yang
ada padaku”
Suatu hari, keluarlah ia kepada kaumnya
dengan kemegahan dan rasa bangga, sombong dan congkaknya. Maka hancurlah
hati orang fakir dan silaulah penglihatan mereka seraya berkata,
“Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa diberikan kepada Qarun,
sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar.”Akan
tetapi orang-orang mukmin yang dianugerahi ilmu menasihati orang-orang
yang tertipu seraya berkata, “Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala
Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh”
Berlakulah sunnatullah atasnya dan murka
Allah menimpanya. Hartanya menyebabkan Allah murka, menyebabkan dia
hancur, dan datangnya siksa Allah. Maka Allah membenamkan harta dan
rumahnya kedalam bumi, kemudian terbelah dan mengangalah bumi, maka
tenggelamlah ia beserta harta yang dimilikinya dengan disaksikan oleh
orang-orang Bani Israil. Tidak seorangpun yang dapat menolong dan
menahannya dari bencana itu, tidak bermanfaat harta kekayaan dan
perbendaharannya.
Tatkala Bani Israil melihat
bencana yang menimpa Qarun dan hartanya, bertambahlah keimanan
orang-orang yang beriman dan sabar. Adapaun mereka yang telah tertipu
dan pernah berangan-angan seperti Qarun, akhirnya mengetahui hakikat
yang sebenarnya dan terbukalah tabir, lalu mereka memuji Allah karena
tidak mengalami nasib seperti Qarun. Mereka berkata, “Aduhai, benarlah
Allah melapangkan rezeki bagi siapa saja yang Dia kehendaki dari
hamba-hamba-Nya dan menyempitkannya; kalau Allah tidak melimpahkan
karunia-Nya atas kita benar-benar Dia telah membenamkan kita [pula].
Aduhai benarlah, tidak beruntung orang-orang yang mengingkari [nikmat
Allah].”
KISAH SESENDOK MADU
Ada sebuah kisah simbolik yang cukup menarik untuk kita simak. Kisah ini adalah kisah tentang seorang raja dan sesendok madu. Alkisah, pada suatu ketika seorang raja ingin menguji kesadaran warganya. Raja memerintahkan agar setiap orang, pada suatu malam yang telah ditetapkan, membawa sesendok madu untuk dituangkan dalam sebuah bejana yang telah disediakan di puncak bukit ditengah kota. Seluruh warga kota pun memahami benar perintah tersebut dan menyatakan kesediaan mereka untuk melaksanakannya.
Ada sebuah kisah simbolik yang cukup menarik untuk kita simak. Kisah ini adalah kisah tentang seorang raja dan sesendok madu. Alkisah, pada suatu ketika seorang raja ingin menguji kesadaran warganya. Raja memerintahkan agar setiap orang, pada suatu malam yang telah ditetapkan, membawa sesendok madu untuk dituangkan dalam sebuah bejana yang telah disediakan di puncak bukit ditengah kota. Seluruh warga kota pun memahami benar perintah tersebut dan menyatakan kesediaan mereka untuk melaksanakannya.
Tetapi dalam pikiran seorang warga kota
[katakanlah si A] terlintas suatucara untuk mengelak, “Aku akan membawa
sesendok penuh, tetapi bukan madu.Aku akan membawa air. Kegelapan malam
akan melindungi dari pandangan mata seseorang. Sesendok airpun tidak
akan mempengaruhi bejana yang kelak akan diisi madu oleh seluruh warga
kota.”
Tibalah waktu yang telah ditetapkan. Apa
kemudian terjadi? Seluruh bejana ternyata penuh dengan air. Rupanya
semua warga kota berpikiran sama dengansi A. Mereka mengharapkan warga
kota yang lain membawa madu sambil membebaskan diri dari tanggung jawab.
Kisah simbolik ini dapat terjadi bahkan
mungkin telah terjadi, dalam berbagai masyarakat manusia. Dari sini
wajar jika agama, khususnya Islam,memberikan petunjuk-petunjuk agar
kejadian seperti di atas tidak terjadi:”Katakanlah [hai Muhammad],
inilah jalanku. Aku mengajak ke jalan Allah disertai dengan pembuktian
yang nyata. Aku bersama orang-orang yang mengikutiku [QS 12:108. Dalam
redaksi ayat di atas tercermin bahwa seseorang harus memulai dari
dirinya sendiri disertai dengan pembuktian yang nyata, baru kemudian dia
melibatkan pengikut-pengikutnya.
"Berperang atau berjuang di jalan Allah
tidaklah dibebankan kecuali pada dirimu sendiri, dan bangkitkanlah
semangat orang-orang mukmin [pengikut-pengikutmu] [QS 4:84]. Perhatikan
kata-kata “tidaklah dibebankan kecuali pada dirimu sendiri.” Nabi
Muhammad SAW pernah bersabda: “Mulailah dari dirimu sendiri, kemudian
susulkanlah keluargamu.” Setiap orang menurut beliau adalah pemimpin dan
bertanggung jawab atas yang dipimpinnya, ini berarti bahwa setiap orang
harus tampil terlebih dahulu. Sikap mental demikianlah yang dapat
menjadikan bejana sang raja penuh dengan madu bukan air, apalagi racun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar